Oleh : Hastie
Aku
yang paling jarang menangis di antara kami berlima. Yang paling bisa tertawa
paling keras, paling cepat menimpali lelucon, paling cekatan menyusun rencana
jalan-jalan ke mana pun. Tapi juga yang paling takut kalau semuanya...
pelan-pelan berubah.
Aku
jarang bilang. Bahkan mungkin nggak pernah. Tapi setiap kali salah satu dari
mereka mulai menyebut kata “pergi,” “kuliah di luar kota,” “beasiswa ke luar
negeri,” atau “tinggal jauh dari rumah”—rasanya seperti ada sesuatu yang
perlahan lepas dari genggaman. Seperti pasir yang kamu pegang terlalu
erat—malah hilang lebih cepat.
Kami
berlima, sudah seperti lima titik di ujung bintang. Nggak pernah benar-benar
sama, tapi selalu terhubung dalam cahaya yang kami bentuk sendiri.
Fina,
yang penuh warna dan ide. Dia selalu bilang Jogja memanggilnya, katanya kota
itu paham bahasa hati yang susah dijelaskan.
Raya, si pemimpi besar. Setiap sore dia bercerita tentang Jepang, seolah Tokyo
sudah ada di ujung tangannya.
Ayu makin jarang nongkrong, sibuk ngejar nilai, les privat ini itu. Demi masuk
jurusan kedokteran yang katanya sudah jadi cita-citanya sejak umur 12.
Nabila, anak paling tenang, yang diam-diam udah mendaftar jadi relawan pengajar
di pedalaman. Katanya ingin hidup yang berarti, bukan cuma nyaman.
Dan
aku?
Katanya aku kuat.
Katanya aku paling ceria.
Katanya aku selalu bisa mengerti, paling cepat menyesuaikan diri.
Padahal
mereka nggak tahu...
Setiap kali dengar kata “nanti,” aku seperti orang yang ditinggal di tengah jalan.
Yang lain terus melangkah, dan aku cuma bisa diam sambil tersenyum, seolah tak
ada yang hilang, padahal semuanya pelan-pelan menjauh.
Aku
takut.
Takut jadi satu-satunya yang tertinggal di tempat yang sama, dengan memori yang
cuma bisa diputar di kepala.
Takut jadi saksi dari sesuatu yang dulu pernah indah… tapi sudah lewat masanya.
Tapi
aku tetap tertawa paling keras.
Tetap bilang, “bangga banget sama kalian.”
Tetap jadi yang paling sigap merangkul kalau ada yang sedih.
Karena
katanya, yang kuat itu yang paling bisa merelakan.
Padahal
aku cuma belum siap kehilangan.
Belum siap berpisah.
Belum siap jadi kenangan di antara cerita-cerita baru mereka.
Minggu
lalu kami pergi ke danau belakang sekolah—tempat biasa kami ngumpul sejak kelas
sepuluh. Tempat yang dulu cuma jadi pelarian kalau guru olahraga nggak masuk,
sekarang terasa seperti museum kenangan. Sunyi, tapi penuh gema.
Obrolan
kami masih sama. Tawa masih terurai, cemilan dan lagu-lagu masih menemani kami
yang duduk diatas tikar bersejarah. Hanya suasana yang berbeda, ada sedikit rasa
asing menyelinap, semua percakapan sore itu terasa seperti potongan-potongan
kalimat selamat tinggal yang dibungkus dalam tawa. Ada jeda-jeda aneh, ada
lirikan mata yang terlalu cepat dialihkan.
“Aku
udah keterima di program relawan itu,” kata Nabila pelan, matanya menatap danau
yang mulai berkilau. “Tiga bulan. Di Flores.”
Kami
semua bersorak, memeluknya bergantian. Aku juga ikut. Tapi pelukanku
cepat-cepat kulepas, sebelum tanganku mulai gemetar.
“Gue
daftar beasiswa Jepang. Mungkin nggak keterima, tapi nyoba aja dulu,” ucap
Raya.
Fina
langsung nyeletuk, “Gue doain lo dapet! Nanti bawa pulang kimono!”
Ayu
dan aku tertawa, tentu aku tertawa paling keras di antara mereka. Tapi aku tahu
itu bukan tawa bahagia. Itu tawa panik. Tawa yang mencoba menyembunyikan rasa
takut kehilangan satu demi satu.
Mereka
punya arah.
Mereka
punya sayap.
Dan
aku masih berdiri di tengah lingkaran yang mulai renggang.
Masih
belum tahu mau ke mana, belum tahu harus mengejar apa.
Yang
kupunya cuma mereka—dan sekarang, mereka mulai berpencar.
“Lo
nggak cerita apa-apa, Nat?” tanya Ayu tiba-tiba, matanya menatapku seperti
sedang mencari sesuatu.
Aku
terdiam. Sebentar.
“Nggak.
Aku masih di sini aja. Ngikutin jalan nanti ke mana,” jawabku sambil senyum.
Kalimat
yang terdengar bijak, padahal cuma kamuflase dari kebingungan dan rasa takut
yang nggak bisa kusebutkan.
Karena
gimana caranya bilang:
Aku
takut sendirian.
Takut
kalau aku bukan siapa-siapa tanpa kalian.
Danau
itu jadi saksi senja kami yang mulai pucat.
Kami
tetap tertawa, tetap bernyanyi, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang
diam-diam pamit di tengah sore.
Mungkin
bukan mereka.
Mungkin...
cuma masa.
Malam
itu aku sendirian di kamar.
Grup
chat kami masih ramai, suara tawa dalam bentuk teks masih berseliweran. Tapi
setelah layar ponselku mati, sepi itu datang tanpa permisi.
Aku
duduk di lantai, bersandar di kasur. Lampu kupadamkan sendiri. Gelap seperti
rasa yang sudah lama aku tekan-tekan.
Dan
di situlah, aku akhirnya menangis.
Bukan
karena aku membenci mereka—tidak.
Bukan
karena iri. Tapi karena aku takut ditinggal oleh hal paling tulus yang pernah
aku punya.
Tangisku
diam, tapi dalam. Air mata turun perlahan, seperti tahu bahwa ini bukan tangis
pertama… dan mungkin bukan yang terakhir.
Ini
bukan soal perpisahan yang akan terjadi. Tapi soal kehilangan yang mulai terasa
sejak belum benar-benar pergi.
Aku
selalu berusaha jadi yang paling tenang. Paling siap. Tapi ternyata, yang sok
kuat adalah yang paling butuh dipeluk. Dan malam itu, aku cuma bisa memeluk
diriku sendiri. Aku nggak tahu harus gimana menghadapi hari-hari setelah ini.
Nggak
tahu siapa yang akan duduk di sebelahku saat makan siang nanti, atau siapa yang
akan kutelpon kalau tiba-tiba ingin menangis tanpa alasan.
Tapi
di sela isak yang pelan, aku sadar sesuatu. Bahwa tidak semua yang pergi
benar-benar hilang. Dan tidak semua kehilangan harus ditolak.
Kadang,
orang-orang yang kita cintai memang harus pergi jauh... supaya kita belajar
berdiri dengan kaki sendiri.
Dan
malam itu, di kamar yang sunyi, di lantai yang dingin, aku biarkan diriku rapuh
untuk sesaat. Bukan untuk menyerah.
Tapi
supaya besok, aku bisa belajar kuat… tanpa pura-pura.
Bukan
jarak yang aku takutkan, tapi sunyi yang muncul saat nama kalian cuma tinggal
kenangan.
Bandung, 25 Juni 2025











